
Wajah Otsus Papua (2)
Oleh A Andreas Goo, Antropolog, Dosen Universitas Cenderawasih.
REALITAS Papua kini adalah potret kelam dari kegagalan sistemik negara dalam melindungi masyarakat asli. Jaringan penyakit sosial bukan sekadar persoalan moral, melainkan instrumen sistematis untuk mendekonstruksi eksistensi masyarakat Papua.
Setiap praktik destruktif ini adalah bentuk kekerasan struktural yang jauh lebih berbahaya dari sekadar kekerasan fisik, membunuh martabat dan masa depan generasi Papua secara perlahan namun pasti.
Ekosistem jaringan kuasa
Papua telah bertransformasi menjadi ruang parkir raksasa bagi kendaraan berplat luar yang mendominasi setiap sudut kota. Jalanan Jayapura, Manokwari, Timika, dan kota-kota utama di Papua kini dipenuhi kendaraan dari berbagai daerah di luar Papua, menciptakan lanskap mobilitas yang kompleks dan menggambarkan relasi kuasa ekonomi yang rumit.
Sistem distribusi kendaraan di Papua merupakan jaringan sophisticated yang melibatkan para makelar profesional. Mereka adalah aktor-aktor yang menghubungkan antara produsen kendaraan, importir, dealer, hingga pemilik modal besar. Setiap kendaraan yang masuk ke Papua tidak sekadar barang ekonomi, melainkan instrumen ekspansi kapital yang terstruktur dengan rapi.
Para patron di balik distribusi kendaraan ini adalah kelompok pengusaha besar dari Jawa, Sumatera, dan Jakarta. Mereka membangun jejaring dengan pejabat lokal, aparat keamanan, dan birokrasi Papua untuk melancarkan kepentingan ekonominya. Setiap kendaraan yang masuk memiliki kepentingan tersendiri dari keperluan bisnis, eksplorasi sumber daya hingga kepentingan politis.
Konsekuensi dari membanjirnya kendaraan berplat luar ini sangat kompleks. Infrastruktur jalan yang terbatas tidak mampu menampung volume kendaraan yang terus bertambah. Kemacetan menjadi pemandangan harian, polusi meningkat, dan masyarakat asli Papua justru tersingkirkan dari dinamika mobilitas ini. Mereka hanya menjadi penonton dalam sistem transportasi yang didominasi pendatang.
Pola distribusi kendaraan ini memperlihatkan bagaimana ruang publik Papua telah dikonstruksi ulang melalui instrumen mobilitas. Setiap kendaraan membawa kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks. Jalanan tidak lagi sekadar infrastruktur transportasi, melainkan arena pertarungan kepentingan antara pendatang dan masyarakat asli Papua.
Realitas Papua kini adalah potret dari kolonialisme modern melalui teknologi mobilitas. Kendaraan berplat luar menjadi metafora dari ekspansi kapital dan kekuasaan yang terus menerus menggerogoti kedaulatan masyarakat asli. Setiap kendaraan yang parkir, setiap mesin yang menyala, adalah representasi dari proses marginalisasi yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur di tanah Papua.
Perampasan sumber daya alam
Tanah Papua telah menjadi korban perampasan sumber daya alam yang paling sistematis dalam sejarah pembangunan Indonesia. Tujuh komponen negara -pemerintah, partai politik, kepolisian, institusi militer, aparatur sipil negara (ASN), pengusaha, dan investor telah membentuk konsorsium eksploitasi yang menguras habis kekayaan alam Papua dengan cara yang terstruktur dan masif. Pola perampasan sumber daya dilakukan melalui mekanisme legal yang diciptakan secara artifisial.
Kontrak-kontrak pertambangan, perkebunan, dan kehutanan didesain sedemikian rupa untuk mengasingkan masyarakat asli Papua dari kepemilikan dan akses terhadap sumber daya alamnya sendiri. Tambang emas Grasberg, perkebunan sawit, dan hutan tropis Papua telah menjadi medan eksploitasi yang menghasilkan miliaran rupiah, namun hanya mengalir pada segelintir elit.
Hegemoni negara terhadap masyarakat asli Papua dibangun melalui mekanisme kompleks yang melumpuhkan daya resistensi. Sistem pendidikan, birokrasi, dan struktur sosial ekonomi dirancang untuk menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan. Masyarakat asli Papua diposisikan sebagai subjek pasif, kehilangan kedaulatan atas tanah leluhur, sumber daya alam, dan ruang hidup mereka sendiri.
Mengapa masyarakat asli Papua mengalami kondisi ini? Jawabannya terletak pada konstruksi kolonial yang diwariskan dan direproduksi secara berkelanjutan. Papua dilihat sebagai wilayah pinggiran, sumber daya eksotis yang dapat dikuras tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis.
Proses dehumanisasi berlangsung secara sistematis, di mana masyarakat asli Papua kehilangan martabat dan hak-hak dasarnya sebagai pemilik sah wilayah. Institusi negara bertindak sebagai mesin eksploitasi yang sempurna.
Kepolisian dan militer tidak sekadar menjaga keamanan, melainkan menjadi instrumen utama dalam menjamin kelancaran proses perampasan sumber daya. Partai politik dan ASN menjadi perpanjangan tangan kepentingan modal, menciptakan regulasi dan kebijakan yang menguntungkan segelintir elit dan merugikan masyarakat asli. Realitas Papua adalah potret terburuk dari ketidakadilan struktural.
Setiap meter tanah yang dikuras, setiap sumber daya yang dirampas, adalah bentuk kekerasan sistematis yang melampaui kekerasan fisik. Masyarakat asli Papua telah kehilangan masa depan, identitas, dan martabat kemanusiaannya. Mereka hanya menjadi penonton dalam narasi pembangunan di tanah sendiri —sebuah tragedi kemanusiaan yang berlangsung secara terencana dan berkelanjutan.
Dekonstruksi dan Dekulturalisasi Kebudayaan Papua
Kebudayaan Papua proto —sebuah warisan peradaban leluhur yang kaya akan makna dan filosofi kehidupan— tengah mengalami proses dekulturalisasi paling sistematis dalam sejarah kolonialisme modern. Negara dengan sengaja dan terencana melakukan pembunuhan perlahan terhadap identitas kultural masyarakat asli Papua melalui mekanisme yang kompleks dan multidimensional.
Instrumen utama dekulturalisasi dilakukan melalui sistem pendidikan, media, dan kebijakan asimilasi. Bahasa, ritual adat, struktur sosial tradisional, dan sistem kepercayaan masyarakat Papua secara bertahap dipaksa untuk termarginalisasi. Sekolah-sekolah negara menjadi mesin pencabut akar budaya, di mana generasi muda Papua dipaksa meninggalkan identitas aslinya dan menerima narasi tunggal kebudayaan negara.
Proses kooptasi kultural berlangsung melalui mekanisme yang sangat halus namun destruktif. Tokoh-tokoh adat dipaksa untuk beradaptasi dengan sistem birokrasi modern, upacara-upacara tradisional dikomodifikasi menjadi pertunjukan pariwisata, dan struktur kepemimpinan tradisional dilemahkan secara sistematis. Setiap ruang ekspresi budaya asli Papua dibatasi, dikontrol, dan dimanipulasi oleh kepentingan negara.
Mengapa negara melakukan dekulturalisasi? Jawabannya terletak pada strategi politik penundukan. Kebudayaan Papua proto dengan filosofi kolektivisme, kedekatan dengan alam, dan sistem nilai budaya yang egaliter dianggap sebagai ancaman terhadap proyeksi negara yang sentralistik dan kapitalistik. Dengan mencabut akar budaya, negara berharap dapat menciptakan masyarakat Papua yang mudah dikendalikan, kehilangan memori kolektif perlawanannya.
Dampak terburuk dari proses dekulturalisasi adalah lahirnya generasi Papua yang terasing dari identitas dirinya sendiri. Anak-anak Papua kehilangan bahasa ibu, terputus dari tradisi leluhur, dan dipaksa untuk menerima narasi tunggal kebudayaan negara. Proses ini bukan sekadar asimilasi, melainkan genosida kultural yang berlangsung secara sistematis dan terencana.
Realitas Papua kini adalah potret kehancuran peradaban. Setiap ritual yang hilang, setiap bahasa yang punah, setiap struktur sosial tradisional yang runtuh adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang tak termaafkan. Negara telah melakukan pembunuhan perlahan terhadap kebudayaan Papua proto -sebuah proses dekonstruksi identitas yang melampaui batas-batas kemanusiaan, mengubur dalam-dalam martabat dan eksistensi masyarakat asli Papua.
Kontroversi Peradaban dan Hegemoni Kultural
Konflik peradaban antara masyarakat Papua proto dan pendatang Melayu merupakan narasi panjang tentang dominasi kultural yang sistematis. Peradaban Papua dengan filosofi hidup yang holistik, komunal, dan berorientasi pada harmoni alam telah berhadapan dengan peradaban Melayu yang dibangun atas fondasi kapitalisme, hierarki sosial, dan logika ekspansif negara modern.
Mekanisme penegasian peradaban Papua dilakukan melalui instrumen kuasa yang kompleks. Negara bertindak sebagai arsitek utama dalam merancang proses subordinasi kultural. Sistem administrasi, hukum, pendidikan, dan birokrasi didesain untuk membungkam ekspresi peradaban asli Papua. Setiap ruang dialogis antara dua peradaban ini telah diintervensi dan dikontrol sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang setara bagi ekspresi kultural Papua.
Kontrol negara atas peradaban Melayu telah menciptakan mesin asimilasi yang sangat efektif. Logika negara modern memandang peradaban Papua proto sebagai entitas terbelakang yang harus dimodernisasi, dirasionalisasi, dan disesuaikan dengan standar tunggal kebudayaan nasional. Proses ini bukan sekadar akulturasi, melainkan bentuk kekerasan kultural yang sistematis dan masif.
Alasan keberhasilan penegasian peradaban Papua terletak pada strategi dekonstruksi identitas. Melalui pendidikan, media massa, dan aparatur ideologis negara, generasi muda Papua secara perlahan dikondisikan untuk meninggalkan identitas aslinya. Bahasa, sistem kepercayaan, struktur sosial, dan memori kolektif Papua diputus secara terencana, menciptakan generasi yang terasing dari akar peradabannya sendiri.
Ironisnya, peradaban Melayu yang dibawa oleh negara tidak melakukan proses adaptasi sebagaimana mestinya. Sebaliknya, ia bertindak sebagai kekuatan penakluk yang absolut. Logika ekspansif kapitalisme, hierarki sosial yang ketat, dan sistem nilai yang antroposentris telah menggantikan filosofi hidup masyarakat Papua proto yang selama berabad-abad hidup dalam keseimbangan dengan alam dan komunitasnya.
Realitas Papua kini adalah potret tragis dari pertarungan peradaban yang tidak seimbang. Setiap ruang kehidupan Papua telah dikolonisasi oleh konstruksi peradaban Melayu yang dikendalikan negara. Masyarakat asli Papua tidak sekadar kehilangan wilayah geografis, melainkan telah tercerabut dari akar peradabannya sendiri -sebuah proses genosida kultural yang berlangsung secara sistematis, terstruktur, dan tak berperikemanusiaan. Semoga. (bagian kedua, terakhir).
Artikel ini telah dimuat di Odiyaiwuu
Leave a Reply