
Wajah Otsus Papua (1)
Oleh A Andreas Goo, Antropolog, Dosen Universitas Cenderawasih.
SEJARAH panjang Papua adalah kisah tentang penderitaan yang tak kunjung usai. Wilayah seluas 319.000 kilometer persegi ini menyimpan kompleksitas persoalan kemanusiaan mendalam, melampaui sekadar persoalan geografis atau administratif. Papua bukan pula sekadar wilayah di ujung timur Indonesia, melainkan potret nyata dari kegagalan sistemik sebuah negara dalam memperlakukan masyarakat asli.
Tragedi kemanusiaan di Papua bukanlah peristiwa tunggal, melainkan rentetan proses kekerasan struktural yang berlangsung secara sistematis, terstruktur, dan massif. Setiap narasi tentang Papua selalu bermuara pada kisah perampasan, marginalisasi, dan penghancuran martabat manusia. Negara telah mengonstruksi Papua sebagai wilayah eksploitasi, dimana masyarakat asli diperlakukan sebagai objek, bukan subjek sejarah.
Kompleksitas persoalan Papua melampaui kapasitas pendekatan konvensional. Ia adalah persilangan antara sejarah kolonial, dinamika kekuasaan modern, konflik identitas, dan pertarungan sumber daya. Setiap aspek kehidupan di Papua mulai dari ekonomi, budaya, demografis hingga keamanan telah diintervensi dan dimanipulasi oleh kepentingan negara dan kelompok dominan.
Tabir kekerasan
Tulisan ini hendak membongkar tabir kekerasan yang selama ini disembunyikan di balik narasi pembangunan dan integrasi nasional dengan topik Wajah Otsus Papua. Papua bukanlah sekadar persoalan wilayah, melainkan persoalan kemanusiaan fundamental.
Setiap kata yang tertulis adalah saksi bisu dari proses dehumanisasi dan dekulturalisasi yang berlangsung secara sistematis, sebuah tragedi yang membutuhkan kesadaran, pengakuan, dan pertanggungjawaban semua saja.
Tanah Papua, sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam namun miskin akan keadilan, telah menjadi saksi bisu deretan tragedi kemanusiaan yang menghantui sejarah pembangunan di tanah ini. Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang digulirkan pada 2001 nyatanya tidak mampu menyelesaikan kompleksitas persoalan fundamental yang dialami masyarakat asli Papua. Malah sebaliknya, memunculkan rentetan konflik berkepanjangan.
Pembunuhan sistematis terhadap tokoh-tokoh Papua telah menjadi pola tersendiri dalam dinamika politik di wilayah ini. Sejumlah aktivis pergerakan kemerdekaan, politikus lokal, bahkan pejabat aparatur sipil negara (ASN) kerap menjadi target pembunuhan dengan modus operandi yang beragam. Mulai dari keracunan, tabrakan misterius, penikaman hingga penembakan yang tidak terungkap tuntas.
Kondisi keamanan yang rapuh telah menciptakan teror psikologis di kalangan masyarakat Papua. Setiap tokoh yang kritis terhadap pemerintah pusat berpotensi menjadi target. Pembunuhan tokoh seperti Theys Eluay, Akihito Tabuni, dan beberapa aktivis lainnya menjadi bukti nyata bahwa suara perlawanan senantiasa dibungkam dengan kekerasan, menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan hukum di tanah Papua.
Pembangunan infrastruktur dan program otsus yang seharusnya menjadi solusi justru kerap menjadi sumber konflik baru. Distribusi dana miliaran rupiah tidak secara signifikan mengubah kesejahteraan masyarakat asli Papua. Kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, dan marginalisasi terus berlangsung, sementara sumber daya alam Papua terus dieksploitasi oleh kepentingan eksternal.
Realitas pahit ini memperlihatkan bahwa Otsus Papua lebih merupakan instrumen politik untuk meredam perlawanan ketimbang upaya sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan fundamental. Setiap nyawa yang hilang, setiap suara yang dibungkam, adalah potret kelam dari sebuah sistem yang gagal memberikan keadilan dan pengakuan terhadap martabat manusia di tanah Papua.
Hegemoni ekonomi dan relasi kuasa
Tanah Papua telah menjadi panggung kompleks pergeseran kekuatan ekonomi yang didominasi oleh relasi kuasa antara kelompok Tionghoa dan Melayu. Sistem patron-makelar yang terbentuk secara sistematis telah mengonstruksi masyarakat asli Papua dalam posisi subordinat, terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan ekonomi dan struktural yang berkelanjutan.
Modal besar yang dikuasai pengusaha Tionghoa menjadi tulang punggung ekspansi ekonomi di Papua. Mereka bertindak sebagai pemegang kendali utama dalam sektor pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur, dengan jejaring politik yang kuat bersama elit Melayu. Kolaborasi ini menciptakan ekosistem ekonomi tertutup yang secara sengaja mengasingkan masyarakat asli Papua dari akses dan kesempatan ekonomi strategis.
Mekanisme patron-makelar yang dibangun menghadirkan konstruksi relasi kuasa yang sangat hierarkis. Pengusaha Tionghoa bertindak sebagai patron modal, sementara elit Melayu berperan sebagai makelar politik dan administratif. Posisi ini memungkinkan mereka mengatur akses sumber daya dan menciptakan sistem distribusi ekonomi yang merugikan masyarakat asli Papua.
Masyarakat asli Papua diposisikan sebagai klien paling bawah dalam piramida ekonomi. Mereka kehilangan kedaulatan atas tanah leluhur, termarjinalkan dalam proses pembangunan, dan hanya menerima fragmen minimal dari kekayaan sumber daya alamnya sendiri. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar pun masih jauh dari standar layak.
Otsus yang seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat asli Papua justru telah dikooptasi oleh kepentingan ekonomi kelompok dominan. Dana miliaran rupiah lebih banyak beredar dalam lingkaran elit, tidak sampai pada perbaikan fundamental kehidupan masyarakat akar rumput.
Korupsi dan kolusi menjadi praktik sistemik yang menggerogoti semangat otonomi. Realitas ini memperlihatkan bahwa Papua bukan sekadar persoalan geografis, melainkan konstruksi relasi kuasa ekonomi yang kompleks.
Masyarakat asli Papua terus terperangkap dalam sistem hegemoni yang tidak memberikan ruang gerak substantif, di mana mereka hanya menjadi penonton dalam narasi pembangunan di tanah sendiri. Ketidakberdayaan struktural ini merupakan bentuk kolonialisme ekonomi modern yang berlangsung tanpa kekerasan fisik namun sangat destruktif.
Perubahan demografis dan marginalisasi
Gelombang migrasi masif ke tanah Papua telah mengubah secara fundamental struktur sosial dan demografis masyarakat asli Papua. Kaum pendatang dari berbagai pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku berbondong-bondong memasuki wilayah ini melalui jalur darat, laut, dan udara, menciptakan pergeseran signifikan dalam komposisi penduduk asli.
Ibu kota provinsi dan kabupaten/kota di Papua kini telah didominasi oleh populasi migran. Orang asli Papua yang semula menjadi mayoritas kini terdesak dan terpinggirkan dalam ruang-ruang strategis perkotaan. Mekanisme migrasi terstruktur ini tidak sekadar perpindahan penduduk, melainkan instrumen sistematis untuk mengubah lanskap demografis dan kekuasaan di tanah Papua.
Pembangunan infrastruktur dan program transmigrasi telah menjadi alat utama untuk melancarkan ekspansi demografis. Kebijakan pemerintah pusat yang membuka seluas-luasnya akses bagi pendatang telah mengikis kedaulatan demografis masyarakat asli Papua. Pusat-pusat ekonomi, administrasi pemerintahan, dan ruang-ruang publik kini didominasi oleh kelompok migran.
Konsekuensi dari transformasi demografis ini sangatlah kompleks. Orang asli Papua mengalami marginalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari lapangan kerja, akses pendidikan hingga representasi politik. Mereka kehilangan ruang untuk mempertahankan identitas, budaya, dan eksistensi sosial di tanah leluhurnya sendiri.
Otsus yang seharusnya melindungi dan memberdayakan masyarakat asli Papua justru tidak mampu membendung arus migrasi masif ini. Kebijakan yang ada lebih banyak mengakomodasi kepentingan pendatang daripada menjamin hak-hak fundamental masyarakat asli. Proses asimilasi dan integrasi yang dipaksakan telah menciptakan ketegangan sosial yang berkelanjutan.
Realitas Papua kini adalah potret perubahan radikal dari tanah leluhur yang homogen menjadi ruang multi-etnis dengan hierarki sosial yang sangat timpang. Orang asli Papua berada pada posisi paling bawah. Mereka terjepit antara kepentingan modal, kebijakan pemerintah, dan dominasi pendatang. Mereka nyaris kehilangan kendali atas tanah, sumber daya, dan masa depan di wilayah yang secara historis adalah milik mereka.
Penyakit sosial
Tanah Papua telah bermetamorfosis menjadi ruang eksperimental penyakit sosial yang dibangun oleh jaringan kompleks kaum migran. Minuman keras, narkoba, perjudian togel, prostitusi, dan epidemi HIV/AIDS telah menciptakan ekosistem destruktif yang secara sistematis menggerogoti martabat masyarakat asli Papua, khususnya generasi muda yang paling rentan terhadap degradasi moral.
Jaringan penyakit sosial ini tidak sekadar fenomena spontan, melainkan konstruksi sistematis yang dibangun dengan infrastruktur kuat. Tempat-tempat hiburan, warung remang, dan lokasi-lokasi tersembunyi menjadi titik-titik strategis penyebaran penyakit sosial. Kaum migran bertindak sebagai aktor utama dalam mengendalikan dan mendistribusikan praktik-praktik destruktif ini, dengan menggunakan masyarakat asli Papua sebagai objek sekaligus korban.
Kepolisian dan institusi militer yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas jaringan penyakit sosial justru menunjukkan sikap ambigu. Kemampuan mereka untuk melacak, menindak, dan menghentikan praktik-praktik ilegal tersebut nyaris tidak dapat dipercaya. Pertanyaan kritis pun muncul: apakah mereka sebenarnya menjadi bagian dari dalang utama dalam jaringan kerusakan sosial ini?
Tabrak lari, praktik kekerasan, dan objektivitas terhadap perempuan Papua menjadi bagian dari ekosistem penyakit sosial yang lebih luas. Perempuan Papua kerap dijadikan komoditas seksual, rentan terhadap kekerasan, dan terperangkap dalam siklus kemiskinan yang dihasilkan dari jaringan destruktif ini. Mereka kehilangan kedaulatan atas tubuh dan martabat kemanusiaannya.
Dampak paling destruktif terlihat pada generasi muda Papua yang terperangkap dalam lingkaran setan penyakit sosial. Tingkat putus sekolah, ketergantungan narkoba, penyebaran HIV/AIDS, dan degradasi moral telah mencapai titik kritis. Sistem pendidikan dan perlindungan sosial nyaris lumpuh total, tidak mampu memberikan ruang pemulihan dan pemberdayaan. (bagian pertama dari dua tulisan)
Artikel ini telah dimuat di Odiyaiwuu
Leave a Reply