
Kepentingan Negara Terhadap Papua
Oleh A Andreas Goo, Antropolog, Dosen Universitas Cenderawasih.
Antropolog
NEGARA Indonesia secara sistematis menggunakan regulasi sebagai instrumen utama untuk mendominasi dan mengontrol wilayah Papua. Melalui Undang-Undang dan peraturan pemerintah (termasuk regulasi daerah), negara membatasi ruang gerak dalam upaya penciptaan martabat, identitas diri serta hak-hak dasar Bangsa Papua sebagai karakteristik Papua yang seharusnya dan negara juga menciptakan struktur hukum yang hanya menguntungkan kepentingan negara.
Regulasi yang dibuat terindikasi mengabaikan kearifan lokal dan hak-hak dasar Bangsa Papua dengan memaksakan paradigma nasional yang sentralistik dan seragam dalam tubuh regulasi.
Mekanisme hukum ini dirancang untuk menegasikan paradigma konteks Papua termasuk suara dan aspirasi masyarakat Papua untuk tampil ke depan, sehingga menciptakan ketidakadilan, ketidakbenaran dan ketidaksetaraan struktural yang berkelanjutan. Bahkan Otsus Papua dan regulasi turunan pun bermain dalam skala permainan yang demikian.
Kebijakan politik pemerintah Indonesia terhadap Papua dibangun atas dasar pendekatan keamanan, model pemaksaan integrasi yang dipaksakan dan semata-mata semua yang sedang terjadi demi kemenangan kepentingan negara.
Negara berpretensi bahwa setiap kebijakan politiknya dirancang untuk menekan gerakan separatis Papua Merdeka dan untuk menjaga stabilitas wilayah dengan cara mengontrol setiap aktivitas politik masyarakat Papua melalui mekanisme represif.
Kebijakan tersebut melanggengkan diskriminasi sistematis dengan membatasi representasi politik Papua dalam struktur pemerintahan nasional. Meskipun secara formal diberikan otonomi khusus, namun pada prakteknya kebijakan politik masih menempatkan Papua sebagai objek dari kekuasaan negara, bukan sebagai subjek yang memiliki kedaulatan penuh.
Program dan kegiatan politik pemerintah di Papua selalu didesain untuk melanggengkan hegemoni negara melalui berbagai intervensi yang terstruktur. Transmigrasi, pembangunan infrastruktur, dan program pemberdayaan masyarakat dijadikan alat untuk mendefinisikan ulang identitas dan ruang gerak masyarakat Papua mengikuti keinginan dan kepentingan negara.
Setiap kegiatan politik dijalankan dengan pendekatan top-down yang mengabaikan partisipasi aktif masyarakat asli. Program-program tersebut lebih berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan instrumen asimilasi paksa daripada upaya nyata untuk membangun kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental masyarakat Papua.
Kolaborasi Menghegemoni Papua
Pemerintah pusat Indonesia secara sistematis merancang mekanisme kekuasaan yang mematikan ruang gerak dan kedaulatan masyarakat Papua. Melalui skenario kompleks, pemerintah menciptakan struktur birokrasi yang mengasingkan Papua dari hak-hak dasarnya, menjadikan masyarakat asli sebagai objek eksploitasi, marginalisasi dan alienasi berkelanjutan.
Setiap kebijakan pemerintah dibangun dengan paradigma kolonial yang memposisikan Papua sebagai wilayah yang harus dikendalikan, bukan sebagai entitas yang memiliki kemandirian dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Proses pengambilan keputusan selalu dipusatkan di Jakarta, menghilangkan partisipasi substantif masyarakat Papua dalam mengurus negerinya.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Papua menjadi perpanjangan tangan rezim negara untuk melanggengkan hegemoni struktural. Mereka direkrut dan ditempatkan dengan sistematis untuk mengawal kepentingan pemerintah pusat, mengabaikan aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat Papua.
Mayoritas PNS yang ditempatkan di Papua tidak memahami konteks budaya dan kompleksitas persoalan Papua (kalaupun memahami persoalan, mereka sokh bodoh). Mereka berperan sebagai agen normalisasi kebijakan negara yang diskriminatif, menciptakan birokrasi yang asing dan tidak responsif terhadap karakteristik lokal.
TNI menggunakan pendekatan keamanan yang represif untuk mengontrol setiap gerak-gerik masyarakat Papua. Kehadiran militer tidak lagi sekadar menjaga pertahanan, melainkan instrumen utama penindasan dan pembungkaman aspirasi politik Bangsa Papua.
Praktik kekerasan, pelanggaran HAM, dan intimidasi telah menjadi metode sistematis TNI dalam mengendalikan wilayah Papua. Setiap perlawanan atau kritik terhadap kebijakan negara selalu ditanggapi dengan kekerasan, menciptakan trauma kolektif dan ketakutan yang mendalam di kalangan masyarakat Papua.
Kepolisian berperan sebagai alat represif negara yang mengkriminalisasi setiap gerakan dan ekspresi politik masyarakat Papua. Mereka secara aktif melakukan penangkapan sewenang-wenang, pengawasan ketat, dan pembungkaman terhadap aktivis dan tokoh masyarakat yang kritis.
Praktik kepolisian di Papua tidak menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, melainkan sebagai instrumen kontrol dan penindasan. Setiap aksi damai, demonstrasi, atau upaya artikulasi politik selalu diperlakukan sebagai ancaman keamanan yang harus dipadamkan dengan cara-cara kekerasan.
Partai politik di Indonesia hampir seluruhnya mendukung narasi tunggal negara tentang Papua, kehilangan independensi untuk bersikap kritis. Mereka lebih memilih mendukung status quo daripada memperjuangkan keadilan substantif bagi masyarakat Papua.
Representasi Papua dalam struktur partai politik sangatlah minim dan bersifat simbolik. Suara-suara kritis dari kader lokal Papua selalu dilemahkan dan dimarginalisasi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kepentingan riil masyarakat Papua tidak pernah terakomodasi secara genuine.
Pengacara yang bekerja di Papua atau di Jakarta umumnya menjadi perpanjangan sistem hukum negara yang diskriminatif. Mereka lebih banyak melindungi kepentingan negara daripada membela hak-hak masyarakat adat Papua yang terampas.
Sistem hukum yang ada tidak memberikan ruang keadilan substantif bagi masyarakat Papua. Setiap proses hukum selalu didesain untuk menguntungkan kepentingan negara, mengabaikan konteks sejarah dan budaya yang kompleks di tanah Papua.
Pengusaha (investor) melihat Papua sebagai lahan eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan, bukan sebagai wilayah dengan ekosistem dan budaya yang harus dihormati. Mereka secara sistematis merampas tanah-tanah adat untuk kepentingan ekonomi yang bersifat ekstraktif.
Setiap proyek investasi di Papua dibangun tanpa konsultasi meaningful dengan masyarakat adat, menciptakan kerusakan lingkungan dan marginalisasi ekonomi masyarakat asli. Mereka adalah aktor korporasi yang melanggengkan kolonialisme ekonomi di tanah Papua.
Dampak hegemoni negara
Hegemoni negara secara sistematis, terstruktur dan masif menggerus memori kolektif dan praktik kultural masyarakat Papua melalui proses asimilasi paksa dan normalisasi budaya dominan. Setiap ruang ekspresi budaya Papua dibatasi, dikontrol, dan diintervensi dengan narasi tunggal negara yang menghapuskan keragaman dan orisinalitas identitas kultural di bawah bayang-bayang Bhineka Tunggal Ika.
Generasi muda Papua perlahan kehilangan koneksi dengan warisan leluhur, bahasa asli, ritual adat, dan sistem pengetahuan tradisional. Proses dekulturasi ini dilakukan melalui pendidikan sentralistik, media massa yang seragam, dan intervensi budaya yang sistematis, menciptakan generasi Papua yang terasing dari akar kebudayaannya sendiri.
Mekanisme negara yang represif memaksa Bangsa Papua untuk mendekonstruksi identitas aslinya, menciptakan krisis eksistensial yang mendalam. Setiap upaya mempertahankan karakteristik kultural Papua selalu dikriminalisasi dan dianggap sebagai ancaman integrasi nasional.
Proses penyangkalan identitas ini terjadi melalui berbagai instrumen, mulai dari kebijakan asimilasi, pembatasan ruang ekspresi politik, hingga marginalisasi sistematis. Bangsa Papua dipaksa untuk menerima identitas yang direkayasa negara, kehilangan otonomi untuk mendefinisikan diri secara otonom.
Struktur ekonomi yang diciptakan negara menempatkan Bangsa Papua pada posisi subordinat, terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketergantungan. Sistem ketenagakerjaan dirancang untuk mengeksploitasi tenaga kerja Papua, memberikan upah rendah dan kesempatan terbatas dalam struktur ekonomi nasional.
Masyarakat Papua dipaksa bekerja pada posisi terendah dalam hierarki ekonomi, tanpa akses substantif terhadap sumber daya dan kesempatan pengembangan diri. Mereka menjadi buruh di tanah sendiri, kehilangan kedaulatan ekonomi dan martabat sebagai subjek pembangunan.
Negara secara sistematis merampas sumber daya alam Papua melalui mekanisme hukum dan kebijakan yang diskriminatif. Kontrak-kontrak pertambangan, perkebunan, dan eksploitasi sumber daya dilakukan tanpa persetujuan substantif masyarakat adat, mengabaikan hak-hak kepemilikan Bangsa Papua.
Setiap wilayah kaya sumber daya di Papua dijadikan lahan eksploitasi oleh korporasi nasional dan multinasional, menciptakan kerusakan lingkungan dan marginalisasi ekonomi masyarakat asli.
Bangsa Papua kehilangan kendali atas tanah warisan leluhur, dipaksa menjadi penonton dalam proses perampasan sumber daya alam di wilayahnya sendiri. Negara menghegemoni bangsa dan tanah Papua untuk keuntungan negara maka Bangsa Papua tidak menjadi tuan di negerinya sendiri. Semoga.
Artikel ini telah dimuat di Odiyaiwuu
Leave a Reply