
Etos Kebudayaan Papua Dalam Otsus
Oleh A Andreas Goo, Antropolog, Dosen Universitas Cenderawasih.
OTONOMI Khusus (Otsus) Papua lahir karena kontroversi politik dua pihak: Jakarta – Papua. Berbasis pada kekuasaan koersif, Otsus menjadi instrumen yang wajib dilaksanakan di Papua sejak 21 November 2001. Dalam implementasinya otsus bekerja dengan tidak atau tidak dengan efektif dan efisien. Akibatnya kandungan harapan dan roh otsus tidak pernah menampakkan dirinya di Papua.
Apabila otsus diimplementasikan secara efektif dan efisien maka etos kebudayaan Papua sudah tampil ke depan sejak awal pelaksanaan otsus Papua sebagai epistemologi utama. Namun, etos kebudayaan Papua justru makin hari makin tenggelam dalam lautan kekuasaan negara melalui implementasi otsus Papua. Tulisan ini hendak melihat otsus Papua dan etos kebudayaan Papua yang seharusnya dan letak ketidakhadiran etos kebudayaan Papua dalam otsus Papua.
Otsus Papua
Otonomi khusus bukan sekadar instrumen administratif, melainkan mandat konstitusional untuk memulihkan martabat dan kedaulatan fundamental masyarakat Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Substansi hakiki otonomi khusus terletak pada kemampuannya mentransformasi struktur sosial-politik yang selama ini melanggengkan praktik marginalisasi, diskriminasi, dan kekerasan sistematis terhadap masyarakat asli Papua.
Desain kelembagaan otonomi khusus mesti dibangun melalui mekanisme partisipatif yang melibatkan secara aktif pemimpin adat, tokoh masyarakat, perempuan, dan generasi muda Papua dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sistem redistribusi keuangan dalam kerangka otonomi khusus harus transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat akar rumput, bukan sekadar menghasilkan elit-elit baru yang koruptif.
Pendidikan dalam perspektif otonomi khusus sejatinya menjadi ruang revitalisasi epistemologi kultural, di mana bahasa, pengetahuan, dan praktik kultural Papua direproduksi dan dikembangkan secara berkelanjutan. Perlindungan hak-hak masyarakat adat dan pranata-pranata sosial Papua mesti menjadi prioritas utama, mencakup aspek nilai budaya, makna dan simbol budaya, dan norma budaya, termasuk kepemilikan tanah, pengelolaan sumber daya alam, hingga praktik spiritual budaya Papua yang selama ini termarginalisasi.
Mekanisme pembangunan ekonomi harus didesain berbasis life skill, kearifan lokal dengan menempatkan pengelolaan sistem ekonomi Papua oleh orang asli Papua sebagai fondasi utama, bukan sekadar mengadopsi model kapitalistik yang eksploitatif. Representasi politik Papua dalam otonomi khusus mesti menjamin “OAP sebagai tuan” dalam Partai Politik agar didalamnya hadir “keterwakilan substantif” Papua dalam setiap ruang pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sistem kesehatan dan pelayanan sosial harus mengintegrasikan praktik pengobatan tradisional, menghormati pengetahuan lokal, dan membangun infrastruktur kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Mekanisme resolusi konflik dalam kerangka otonomi khusus mesti dibangun atas prinsip keadilan restoratif, fokus pada pemulihan hubungan sosial, rekonsiliasi, dan penghentian siklus kekerasan.
Dokumentasi dan pelestarian warisan budaya Papua menjadi agenda fundamental, dengan mengembangkan pusat-pusat “etos budaya Papua” dalam segala bidang kehidupan: makanan Papua, arsitektur, artistik, hukum adat, kekerabatan dan pola-pola relasi khas, dokumentasi, museum, dan ruang-ruang ekspresi kultural yang hidup dan berkelanjutan.
Jadi, otonomi khusus adalah upaya pengembalian martabat kultural Papua, dimana setiap kebijakan dimaknai sebagai proses pembebasan dari bayang-bayang kolonialisme, marginalisasi, dan ketidakadilan dan ketidakbenaran sistematis yang dipraktekkan melalui otsus.
Etos kebudayaan Papua
Kebudayaan Papua sejatinya adalah “ruang etos” yang menampilkan wajah asli Papua yang menampilkan identitas dan kepribadian Papua sejati yang sakral. Di mana komunitas, solidaritas, dan harmoni antarmanusia dan dengan alam menjadi nafas utama eksistensi manusia, bukan sekadar konstruksi politis yang artifisial dan tercerabut dari akar spiritualitasnya.
Sistem nilai fundamental masyarakat Papua dibangun atas prinsip-prinsip relasi kemanusiaan dan naturalitas kolektif yang menempatkan kebersamaan dan egaliarianisme sebagai pondasi utama, di mana setiap individu tidak dipahami sebagai entitas terpisah, melainkan bagian integral dari struktur sosial yang saling menyokong.
Hubungan dialektis antara manusia, alam, dan spiritual merupakan epistemologi kultural yang mendasari setiap praktik sosial, dimana alam tidak dipandang sebagai objek eksploitasi, melainkan mitra hidup yang memiliki kedaulatan spiritual yang terpola. Struktur kepemimpinan adat Papua seharusnya dibangun atas mekanisme struktur sosial budaya Papua yang genuine (bukan sabotase dan intervensi untuk NKRI harga mati melalui faksi-faksi militasinya), di mana setiap suara memiliki bobot yang setara, dan keputusan dihasilkan melalui proses deliberasi yang mendalam dan bermartabat dalam rumah adat, halaman adat dan/para-para adat.
Pendidikan kultural Papua mestinya menjadi ruang transformasi pengetahuan yang menghidupkan kembali ilmu pengetahuan Papua, mengintegrasikan sistem pengetahuan tradisional dengan dinamika kontemporer tanpa kehilangan orisinalitas kulturalnya. Praktik ekonomi berbasis kearifan lokal yang menempatkan sharing dan redistribusi sebagai mekanisme utama, dengan upaya menjaga keseimbangan sosial dan ekologis.
Dimensi spiritual dalam kebudayaan Papua seharusnya dipahami sebagai sistem epistemologi yang kompleks, di mana ritual bukan sekadar pertunjukan tetapi mekanisme komunikasi dengan realitas metafisik yang lebih dalam. Konstruksi maskulinitas dan feminitas dalam masyarakat Papua dibangun atas prinsip komplementaritas, di mana perbedaan gender tidak menciptakan hierarki, melainkan saling melengkapi dalam relasi sistem sosial Papua.
Seni dan ekspresi kultural Papua sejatinya adalah medium transformasi sosial, di mana setiap karya memiliki fungsi dokumentasi sejarah, kritik sosial, dan proyeksi masa depan yang berkelanjutan. Mekanisme resolusi konflik dalam kebudayaan Papua didasarkan pada prinsip restorative justice, di mana tujuan utamanya adalah pemulihan hubungan sosial, bukan sekadar penghukuman atau pembalasan dendam.
Relasi antarkelompok suku di Papua seharusnya dibangun atas fondasi saling menghargai, menghormati dan saling pengakuan, dimana perbedaan dipahami sebagai kekayaan, bukan ancaman yang membutuhkan mekanisme kontrol dan dominasi. Kedaulatan kultural Papua pada hakikatnya adalah ruang dimana setiap individu memiliki kapasitas untuk mendefinisikan ulang identitasnya, tanpa tekanan struktural yang mengekang ekspresi dan kreativitas fundamental manusia dan kemanusiaan Papua melalui pendekatan militeristik di era otsus maupun bukan otsus.
Gagal ciptakan etos kebudayaan
Otonomi khusus Papua, sejak awal implementasi telah menghadirkan paradoks fundamental dalam dinamika kebudayaan masyarakat asli Papua, di mana retorika pemberdayaan, keberpihakan dan perlindungan justru terjerembab dalam praktik marginalisasi, alienasi dan stigmatisasi yang tersistematis, terstruktur, dan masif.
Konstruksi kebijakan yang dibingkai dalam dalil pembangunan telah secara nyata mencabut akar-akar kearifan lokal, menggantikan sistem nilai budaya Papua dengan mekanisme birokratis yang asing dan tidak bernyawa. Mekanisme distribusi dana otsus yang tidak transparan telah menciptakan struktur kekuasaan baru yang menggerogoti integritas kultural masyarakat Papua, mengubah pemimpin-pemimpin “pemadam api” yang menjadi perpanjangan kepentingan rezim yang tidak sensitif terhadap etos kebudayaan Papua.
Proses komodifikasi budaya Papua melalui instrumen otonomi khusus telah mengubah ruang-ruang sakral menjadi arena transaksi politis dan ekonomi pasar, di mana identitas kultural dijual dan dipertaruhkan dalam logika kapitalisme yang tidak berperasaan, rakus dan hedon.
Ketimpangan struktural yang dihasilkan oleh otsus telah melahirkan generasi Papua yang terasing dari akar budayanya, terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, ketergantungan dan ketidakberdayaan yang sistemik. Praktik pendidikan dan ketenagakerjaan yang tidak merepresentasikan spirit kultural Papua telah menciptakan diaspora internal, di mana anak-anak Papua kehilangan sense of belonging terhadap tanah leluhurnya, bahkan berpotensi menyangkal kepribadian dan identitas Papuanya. Mekanisme pembangunan yang tidak partisipatif telah menghancurkan sistem ilmu pengetahuan Papua, menggantikan logika ekologis dengan paradigma eksploitatif yang merusak tatanan sosial masyarakat adat, bahkan berpotensi pemusnahan ilmu pengetahuan Papua.
Konflik berkepanjangan yang dihasilkan dari implementasi otsus telah mengikis modal sosial dan kultural masyarakat Papua, menciptakan fragmentasi sosial yang semakin melebar dan tak terjembatani. Representasi Politik Papua dalam konstruksi otonomi khusus hanyalah sekadar topeng yang menutupi praktik marginalisasi, alienasi dan stigmatisasi yang sistematis, terstruktur dan masif, dimana suara-suara kultural terlemparkan dari ruang-ruang pengambilan keputusan, bahkan dicurigai sebagai anti NKRI. Proses dekonstruksi identitas kultural yang dihasilkan oleh otsus telah menegasi orang asli Papua menjadi objek pembangunan, bukan subjek yang memiliki kedaulatan atas Papua.
Jadi ternyata, otsus tidak mampu melakukan transformasi atas struktur kekuasaan negara untuk menciptakan struktur kekuasaan Papua dalam otsus yang dikendalikan seratus persen oleh orang asli Papua. Otonomi khusus Papua hanyalah “mitos pembangunan” yang gagal menciptakan etos kebudayaan sejati, ia hanya memorial bagi kegagalan yang tumbuh subur untuk menegasikan tampilnya martabat, identitas, dan peradaban Papua melalui otsus dalam negara Indonesia.
Otsus Papua merupakan mandat konstitusional yang bertujuan memulihkan martabat dan kedaulatan masyarakat Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun dalam implementasinya gagal mentransformasi struktur sosial-politik yang selama ini melanggengkan marginalisasi dan diskriminasi. Etos kebudayaan Papua sejatinya adalah ruang sakral yang menampilkan identitas asli Papua, dengan prinsip komunalitas, solidaritas, dan harmoni antar manusia dan alam, yang menempatkan kebersamaan dan egalitarianisme sebagai fondasi utama kehidupan sosial.
Implementasi otsus Papua telah menghadirkan paradoks fundamental, dimana retorika pemberdayaan justru terjerembab dalam praktik marginalisasi, alienasi, dan stigmatisasi sistematis terhadap masyarakat asli Papua. Mekanisme distribusi dana otsus yang tidak transparan telah menciptakan struktur kekuasaan baru yang menggerogoti integritas kultural, mengubah pemimpin lokal menjadi perpanjangan kepentingan rezim yang tidak sensitif terhadap etos budaya Papua.
Ketimpangan struktural otsus telah melahirkan generasi Papua yang terasing dari akar budayanya, terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan sistemik, serta berpotensi menghancurkan sistem pengetahuan dan identitas kultural asli. Otsus Papua pada akhirnya hanyalah “mitos pembangunan” yang gagal menciptakan etos kebudayaan Papua sejati, dan tidak mampu mentransformasi struktur kekuasaan, dan hanya menjadi memori bagi kegagalan dalam menegasi martabat, identitas, dan peradaban Papua dalam konteks negara Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Odiyaiwuu
Leave a Reply