
Diskusi daring dan pelucuran buku Mambesak ingin hidupkan spirit Mambesak
Jayapura, Jubi – Diskusi daring dan peluncuran buku “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto” yang akan digelar di Museum Universitas Cenderawasih pada Rabu (5/8/2020) bakal membahas peran penting kelompok musik Mambesak dalam perkembangan seni dan budaya di Papua. Lebih dari sekedar kelompok musik, Mambesak yang didirikan musisi Arnold C Ap lahir sebagai gerakan untuk membangkitkan kembali identitas orang Papua melalui karya musik.
Hal itu disampikan Abner Krey selaku Koordinator Tim Kerja Diskusi Online dan Pelucuran Buku “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto” saat ditemui di Kota Jayapura, Selasa (4/8/2020). Diskusi daring dan pelucuran buku yang diselenggarakan Keluarga Besar Alumni Antropologi Universitas Cendrawasih itu akan berlangsung di Museum Universitas Cenderawasih pada Rabu (5/8/2020) pukul 16.00 WP.
Diskusi itu akan menghadirkan pembicara antara lain C Ruhukail dan Demianus Koerni (personil Mambesak), budayawan Papua Don AL Flassy, Andreas Goo (editor buku “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto”). Keluarga mendiang Arnold C Ap, yaitu Corry Ap-Bukorpioper (istri Arnold Ap) dan Oridek Ap (putra sulung Arnold Ap) juga turut menjadi pembicara dalam diskusi daring dan pelucuran buku pada Rabu nanti.
Menurut Abner Krey, diskusi daring dan peluncuran buku besok ingin ingin mengembalikan spirit Mambesak, yakni menyanyi untuk hidup dan hidup untuk menyanyi. “Bidang seni inilah yang membesarkan Mambesak dan mempersatukan orang Papua dalam bidang seni. Mambesak mengajak [orang Papua] untuk kembali mencintai seni dan kebudayaan orang Papua itu sendiri. Tulisan yang diulas dalam buku yang diluncurkan menerangkan soal keaslian seni budaya itu sendiri,” katanya.
Kelompok musik Mambesak didirikan musisi Arnold C Ap pada 5 Agustus 1978, 42 tahun yang lalu. Mambesak sangat dikenal dengan ciri khasnya berupa musik akustik yang memainkan lagu berbahasa daerah dari seluruh Tanah Papua. Hingga kini, Mambesak menjadi salah satu lini masa terpenting dalam perkembangan seni dan budaya di Papua.
“Generasi muda sudah menggunakan aplikasi yang canggih, dan begitu muda untuk mengeksplorasi bakat seni. Akan tetapi, generasi muda [harus] tetap mengembangkan seni budaya, sebagaimana yang telah diwariskan oleh Mambesak. Mereka juga bisa mengembangkan seni budaya dari daerah asalnya,” kata Krey.
Ia mengakui, telah banyak terjadi pergeseran nilai budaya di Papua, yang turut mempengaruhi aktivitas berkesenian di Papua. Pergeseran budaya itu bahkan juga mempengaruhi berbagai sendi kehidupan lain di Papua. “Ini menjadi dasar kami menyelenggarakan kegiatan [diskusi daring] ini. Karena, menyanyi akan membangkitkan semangat hidup,” ujarnya.
Antropolog Papua, David Leonardo Ulim menyebut diskusi daring dan peluncuran buku itu akan menarik, mengingat besarnya kontribusi kelompok musik Mambesak terhadap perkembangan seni dan budaya di Papua. Ulim menyebut, Mambesak lahir untuk menjawab persoalan krisis identitas orang Papua Proto yang ditimbulkan proses akulturasi di Tanah Papua.
Menurutnya, proses akulturasi di Tanah Papua-baik secara disengaja atau tanpa disengaja oleh berbagai lembaga pemerintah dan swasta-memasukan banyak program pembangunan yang didasari anggapan bahwa orang Papua terbelakang. Program pembangunan itu juga menganggap budaya asli Papua sebagai penghambat kemajuan orang Papua.
“Akulturasi di Tanah Papua berimbas kepada kebudayaan orang Papua, [menimbulkan] banyak pergeseran nilai budaya yang mengarah pada krisis dan kepunahan identitas [orang Papua. Banyak] program atau kebijakan didasarkan anggapan [bahwa] orang Papua Proto terbelakang dan sulit untuk dibangun karena terhambat budayanya, [sehingga] budaya itu harus dibasmi agar mereka terangkat dari kemiskinan. Anggapan itulah yang membuat banyak program penginjilan dan pembangunan berusaha meniadakan nilai budaya [orang Papua] kata Ulim.
Ulim menyebut, cara pandang itu mengabaikan posisi budaya orang Papua yang telah membangun berbagai kearifan lokal. “[Para aktor penginjilan dan pembangunan itu] tidak sadar bahwa banyak nilai kearifan lokal yang sebenarnya merupakan potensi untuk membangun [Tanah Papua],” kata Ulim.(*)
Tulisan ini telah dimuat di Jubi Online
Leave a Reply